Lawang Sewu: Jejak Kolonial dan Ikon Sejarah Kota Semarang
Kota Semarang dikenal dengan sejumlah bangunan peninggalan kolonial Belanda yang masih berdiri megah hingga kini. Salah satu yang paling terkenal adalah Lawang Sewu, sebuah gedung bersejarah yang bukan hanya menyimpan kisah panjang kolonialisme, tetapi juga dipercaya menyimpan cerita mistis yang membuatnya semakin menarik untuk dikunjungi.
Asal Usul Nama Lawang Sewu
Secara harfiah, “Lawang Sewu” dalam bahasa Jawa berarti seribu pintu. Julukan ini muncul karena banyaknya pintu dan jendela yang ada di bangunan tersebut, meskipun jumlah sebenarnya tidak mencapai seribu. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, bangunan ini memiliki nama resmi Het administratiegebouw van de Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij, yaitu kantor administrasi perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Kini, bangunan tersebut dikelola oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan difungsikan sebagai museum serta pusat informasi sejarah perkeretaapian nasional.
Lokasi dan Arsitektur
Lawang Sewu berada di Jalan Pemuda, tepat berseberangan dengan Tugu Muda dan dekat dengan Museum Mandala Bhakti. Pembangunan gedung ini dimulai pada tahun 1904 dengan peletakan batu pertama, dan meski baru selesai pada 1919, gedung ini sudah difungsikan sejak 1907. Kompleks Lawang Sewu terdiri atas beberapa bangunan utama: gedung A dan B di bagian depan, serta gedung C dan D di bagian belakang. Gedung A yang menghadap langsung ke Tugu Muda memiliki ciri khas dua menara kembar, kaca patri berukuran besar, tangga utama di bagian tengah, dan akses ke ruang bawah tanah. Sementara itu, Gedung B yang berada di belakang memiliki tiga lantai, dengan lantai satu dan dua digunakan sebagai kantor, dan lantai tiga berfungsi sebagai loteng.
Sejarah Lawang Sewu
Kisah Lawang Sewu tidak lepas dari perkembangan jalur kereta api di Indonesia. Pada 1864, pemerintah kolonial Belanda melalui NIS mulai membangun jalur kereta api yang menghubungkan Semarang dengan Solo, Yogyakarta, dan Kedungjati-Ambarawa. Jalur tersebut penting karena Semarang berfungsi sebagai pelabuhan sekaligus pusat perdagangan, sedangkan daerah pedalaman menghasilkan berbagai komoditas perkebunan.
Seiring berkembangnya usaha, NIS membutuhkan kantor administrasi baru. Pada 1904, arsitek Belanda Cosman Citroen dipercaya merancang gedung ini, dengan J.F. Klinkhamer dan B.J. Queendag sebagai perencana. Pembangunannya selesai pada 1918 dan menjadi simbol kemajuan transportasi pada masa itu.
Memasuki masa pendudukan Jepang, Lawang Sewu diubah menjadi kantor Ryuku Sokyoku atau Jawatan Transportasi Jepang. Ruang bawah tanahnya dialihfungsikan menjadi penjara sekaligus tempat eksekusi. Setelah Jepang kalah, pada Oktober 1945 terjadi pertempuran lima hari di Semarang antara pemuda Indonesia dan tentara Jepang, menjadikan Lawang Sewu sebagai saksi bisu perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pada masa revolusi, gedung ini sempat dipakai oleh DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia). Namun, ketika Belanda kembali masuk ke Semarang pada 1946, gedung ini dikuasai dan digunakan sebagai markas mereka.
Lawang Sewu Kini
Setelah mengalami berbagai perubahan fungsi, pada 1994 bangunan ini resmi diserahkan kepada PT KAI. Restorasi besar dilakukan pada 2009, dan dua tahun kemudian, tepatnya 2011, Ibu Negara Ani Yudhoyono meresmikan Lawang Sewu sebagai destinasi wisata sejarah.
Kini, Lawang Sewu tidak hanya dikenal sebagai ikon Kota Semarang, tetapi juga sebagai pusat edukasi sejarah perkeretaapian Indonesia. Perpaduan antara nilai sejarah, keindahan arsitektur kolonial, serta kisah-kisah mistis di baliknya membuat Lawang Sewu tetap menjadi daya tarik utama bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Gabung dalam percakapan