Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Pergerakan Nasional dan Lahirnya PKI
![]() |
Gedung Sarekat Islam (SI) di Kampung Gendong Utara, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, merupakan salah satu bangunan bersejarah yang erat kaitannya dengan pergerakan nasional pada awal abad ke-20. Gedung ini dibangun pada tahun 1919–1920 atas gagasan Semaoen, tokoh Sarekat Islam Semarang sekaligus pemimpin serikat buruh kereta api dan trem (VSTP).
Pembangunan gedung ini dilakukan secara gotong royong. Lahan seluas 1.300 m² merupakan wakaf dari Haji Busro, salah seorang komisaris Sarekat Islam. Biaya pembangunan berasal dari iuran berbagai kalangan, baik berupa uang maupun bahan bangunan. Bahkan tokoh pergerakan Tionghoa, Lie Eng Hok, ikut memberikan dukungan. Arsitektur gedung dirancang oleh Sutrisno, seorang pribumi asal Kudus, dengan desain sederhana sesuai fungsi sebagai pusat pertemuan rakyat.
Fungsi Gedung dalam Pergerakan
Sejak awal, Gedung SI digunakan untuk berbagai aktivitas organisasi dan pergerakan rakyat Semarang. Bangunan ini menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaoen, termasuk rapat-rapat buruh, pendidikan politik, hingga berdirinya sekolah Sarekat Islam School yang sempat diajar oleh Tan Malaka. Sekolah ini menekankan pendidikan umum sekaligus keterampilan berorganisasi dan kesadaran sosial bagi rakyat kecil.
Gedung ini juga menjadi tempat lahirnya sejumlah gerakan penting. Pada tahun 1920, di gedung inilah dilakukan rapat yang melahirkan Partai Komunis Hindia, yang kemudian berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, gedung ini pernah menjadi lokasi pengorganisasian pemogokan buruh pada 1922–1923 yang berdampak besar terhadap perekonomian di Jawa.
Pada periode 1930-an, Gedung SI juga menjadi tempat berbagai tokoh pergerakan nasional menyampaikan pidato, termasuk Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, dan tokoh-tokoh lainnya. Gedung ini berfungsi sebagai ruang konsolidasi bagi berbagai organisasi politik seperti Partindo, Budi Utomo, dan Sarekat Islam sendiri.
Perubahan dan Pemanfaatan
Dalam perjalanannya, Gedung SI mengalami berbagai perubahan fungsi. Pada masa pendudukan Jepang dan Belanda, gedung ini beberapa kali ditutup. Saat Pertempuran Lima Hari di Semarang, gedung ini sempat difungsikan sebagai pos Palang Merah. Pasca peristiwa G30S, gedung ini nyaris dibakar karena kaitannya dengan PKI, namun berhasil diselamatkan oleh warga sekitar.
Pengelolaan gedung kemudian beralih ke Yayasan Balai Muslimin. Sejak saat itu, gedung digunakan untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan masyarakat, termasuk pengajian, salat Idul Fitri, hingga kegiatan musyawarah pembangunan (Musrenbang) dan tempat pemungutan suara (TPS) saat pemilu.
Upaya Pelestarian
Kondisi gedung sempat memprihatinkan pada 2011–2012, bahkan sempat direncanakan untuk dirobohkan dan diganti bangunan baru. Namun, berbagai kalangan pegiat sejarah di Semarang mendorong agar gedung ini ditetapkan sebagai cagar budaya. Setelah melalui proses panjang, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah akhirnya melakukan pemugaran pada 2014.
Hingga kini, Gedung Sarekat Islam tetap berdiri dan dimanfaatkan masyarakat. Bangunan ini masih mempertahankan bentuk aslinya dengan ciri khas ruang utama luas, pilar-pilar kayu jati, serta lantai tegel bertuliskan huruf “SI”. Sebagai salah satu saksi perjalanan sejarah bangsa, Gedung SI Semarang menjadi bukti penting peran kota ini dalam perkembangan pergerakan nasional Indonesia.
Gabung dalam percakapan