Bedah Buku “Polisi Istimewa di Tengah Revolusi” Ungkap Kiprah Kompol II RM. Bambang Soeprapto dalam Pertempuran Lima Hari Semarang


Semarang, 20 Oktober 2025 — Dalam rangka memperingati peristiwa heroik Pertempuran Lima Hari di Semarang (15–19 Oktober 1945), digelar acara bedah buku “Polisi Istimewa di Tengah Revolusi: Kiprah Kompol II RM. Bambang Soeprapto Dipokoesomo dalam Pertempuran Lima Hari Semarang” karya Hendi Jo. Kegiatan ini berlangsung di Gedung Wisma Perdamaian, salah satu saksi sejarah perjuangan di Kota Semarang.  Acara yang diinisiasi untuk memperdalam pemahaman sejarah lokal ini menghadirkan sejumlah tokoh penting, antara lain Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum. (sejarawan), Masqudori (sejarawan Polri), Tri Subekso (penggiat sejarah), dan Hendi Jo selaku penulis buku. 

Dalam sambutannya, Kombespol Noer Hoedaya, S.IK., M.Han. menegaskan bahwa perjuangan di Semarang merupakan awal dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia menilai bahwa Kompol Bambang Soeprapto adalah figur penting yang selama ini belum banyak dikenal masyarakat. “Dengan buku ini, generasi muda bisa menyadari bahwa Semarang memiliki tokoh besar dalam peristiwa awal revolusi Indonesia,” ungkapnya. 

Bambang Soeprapto, Tokoh Sentral Revolusi di Semarang 

Dalam paparannya, Hendi Jo menjelaskan bahwa Bambang Soeprapto adalah sosok pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di Semarang pada 19 Agustus 1945, hanya beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan. Aksi ini kemudian menginspirasi masyarakat untuk berani mengibarkan Merah Putih di seluruh penjuru kota.  Selain dikenal berani dan idealis, Bambang Soeprapto juga dikenal sebagai tokoh teladan yang bahkan tidak menerima gaji demi perjuangan Republik Indonesia. Ia wafat pada tahun 1949 setelah ditawan oleh DI/TII, dan dengan jiwa kepemimpinannya ia memilih berkorban agar 50 anak buahnya dibebaskan. 

Hendi Jo juga mengungkapkan tantangan dalam penulisan buku ini. Minimnya sumber membuat proses penelitian cukup panjang. Ia berhasil menemukan data dari berbagai arsip seperti ANRI, museum di Leiden, serta sumber lisan dari ajudan dan bekas tentara pelajar yang ikut berjuang di usia muda. 

Sementara itu, Masqudori menjelaskan peran besar Polisi Istimewa pada masa pendudukan Jepang dan awal revolusi. Ia menekankan bahwa Bambang Soeprapto bersama Karyadi dan Wongsonegoro adalah tiga figur penting dalam perjuangan di Semarang. Untuk menghormati jasanya, namanya kini diabadikan menjadi nama jalan dan monumen di berbagai kota, seperti Semarang, Banyumas, Yogyakarta, dan Brebes. Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum. turut menyampaikan bahwa dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI), peristiwa Lima Hari Semarang hanya ditulis dalam tiga paragraf, padahal pertempuran ini menelan korban hampir 990 jiwa dari kedua belah pihak. Ia mendorong perlunya pembaruan penulisan sejarah nasional agar peristiwa ini mendapat tempat yang layak dalam historiografi Indonesia. 

Menghidupkan Semangat Sejarah Lokal 

Tri Subekso menambahkan bahwa Bambang Soeprapto adalah tokoh sentral yang selama ini belum banyak diangkat. “Kalau di Palagan Ambarawa ada Letkol Isdiman dan Jenderal Soedirman, serta di Surabaya ada Bung Tomo, maka di Semarang kita punya Bambang Soeprapto sebagai penggerak utama perlawanan,” ujarnya. Kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan guru sejarah se-Kota Semarang. Salah satunya, Bapak Wiyanto dari SMA Karangturi, menyampaikan bahwa para guru sejarah siap berkolaborasi untuk memperkenalkan tokoh Kompol Bambang Soeprapto kepada pelajar dan masyarakat luas melalui pembelajaran di sekolah. Melalui kegiatan ini, diharapkan semangat perjuangan dan keteladanan Bambang Soeprapto dapat terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Semarang dan menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk mencintai sejarah bangsanya.

Dokumentasi