Yoni Cangkiran: Jejak Peradaban Hindu Terbesar di Semarang yang Terlupakan
Di tengah pesatnya pembangunan kawasan Mijen, Kecamatan paling barat di Kota Semarang, tersimpan peninggalan masa lalu yang menandakan betapa tuanya peradaban di wilayah ini. Di antara kompleks perkampungan di Kelurahan Cangkiran, berdiri sebuah batu besar berbentuk khas — sebuah yoni berukuran luar biasa besar, peninggalan masa Hindu-Buddha yang kini dikenal sebagai Yoni Cangkiran.
Bagi masyarakat sekitar, keberadaan batu tersebut telah lama dianggap sebagai bagian dari kisah lokal yang berkaitan dengan tokoh yang dikenal sebagai Mbah Badur, sosok yang diyakini sebagai pembuka wilayah Cangkiran. Namun bagi para arkeolog, yoni ini menyimpan arti jauh lebih dalam — bukan sekadar peninggalan lokal, tetapi bukti kuat bahwa Mijen pernah menjadi salah satu pusat permukiman dan kegiatan keagamaan masa Mataram Kuno.
Yoni Terbesar di Kota Semarang
Ukuran Yoni Cangkiran tidak biasa. Berdasarkan pengukuran arkeologis, batu ini memiliki panjang 105 sentimeter, lebar 105 sentimeter, dan tinggi mencapai 110 sentimeter. Ukurannya yang masif menjadikannya yoni terbesar yang pernah ditemukan di wilayah administratif Kota Semarang.
Dalam kebudayaan Hindu, yoni merupakan lambang kesuburan sekaligus simbol dari Dewi Parwati, pendamping Dewa Siwa. Yoni hampir selalu dipasangkan dengan lingga, simbol Dewa Siwa yang melambangkan kekuatan maskulin. Keduanya biasanya menjadi bagian penting dalam struktur candi Siwaistis, ditempatkan di ruang utama (garbhagriha) sebagai objek pemujaan.
Dari segi bentuk dan bahan, Yoni Cangkiran terbuat dari batu andesit — batu keras yang umum digunakan dalam pembangunan candi pada masa klasik Jawa. Pada bagian atas terdapat lubang besar berbentuk lingkaran, tempat seharusnya lingga diletakkan, sementara sisi bawahnya memiliki saluran kecil yang berfungsi menyalurkan air suci setelah digunakan dalam upacara pemujaan.
Indikasi Kuat Keberadaan Candi di Sekitar Cangkiran
Bagi kalangan arkeologi, temuan yoni sebesar itu tidak mungkin berdiri sendirian. Setiap yoni selalu menjadi bagian dari kompleks keagamaan, yang umumnya terdiri dari bangunan utama (candi induk), beberapa bangunan pendamping, dan area ritual di sekitarnya.
Karena itu, keberadaan Yoni Cangkiran menimbulkan hipotesis kuat bahwa di wilayah ini dulunya berdiri sebuah candi Hindu, kemungkinan besar bercorak Siwaistis. Candi tersebut kini mungkin telah hancur dan terkubur, menyisakan yoni sebagai satu-satunya bukti yang masih tampak di permukaan.
Arkeolog asal Semarang, Tri Subekso, menyebut bahwa ciri-ciri batuan dan artefak di sekitar Cangkiran menunjukkan adanya lapisan budaya dari masa Jawa Kuno. Ia memperkirakan kawasan ini telah menjadi bagian dari lanskap permukiman dan peribadatan sejak abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, bersamaan dengan masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah bagian selatan.
Lanskap Budaya Mataram Kuno di Mijen
Penemuan Yoni Cangkiran juga tidak berdiri sendiri. Di wilayah Mijen dan sekitarnya, terdapat dua situs lain yang diduga merupakan reruntuhan candi, yakni Candi Duduhan di Kelurahan Mijen dan Candi Tempel di Kelurahan Jatisari. Walaupun bentuk aslinya belum terungkap, batu-batu andesit yang tersebar di lokasi tersebut memperkuat dugaan bahwa kawasan Mijen merupakan kompleks permukiman kuno yang cukup besar.
Dalam konteks arkeologi, wilayah yang memiliki lebih dari satu situs candi biasanya menjadi pusat kehidupan masyarakat yang cukup padat pada masanya. Ciri-cirinya meliputi adanya permukiman, lahan pertanian, sumber air, dan bangunan suci. Hal ini sejalan dengan konsep “wanua” dalam prasasti-prasasti Jawa Kuno, yaitu satuan desa atau komunitas yang menjadi bagian dari struktur administratif kerajaan Mataram Kuno.
Dengan demikian, Mijen dapat dipandang bukan hanya sebagai pinggiran Semarang modern, tetapi sebagai bagian dari jaringan budaya dan ekonomi penting di masa Hindu-Buddha.
Antara Mitos dan Fakta Arkeologis
Keberadaan Yoni Cangkiran juga memperlihatkan bagaimana peninggalan masa lalu terus hidup dalam ingatan masyarakat. Masyarakat setempat mengenal situs tersebut sebagai makam Mbah Badur, sosok yang dianggap sebagai tokoh pembuka wilayah. Di sinilah terjadi percampuran antara memori religius masa Hindu-Buddha dan tradisi Islam-Jawa yang datang kemudian.
Fenomena ini menunjukkan bahwa warisan arkeologis di Jawa tidak hanya berfungsi sebagai benda sejarah, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan spiritualitas masyarakat lokal. Batu yang dulunya berfungsi dalam upacara Hindu kini menjadi bagian dari ruang sakral masyarakat setempat — sebuah bentuk kesinambungan budaya yang menarik untuk diteliti lebih jauh.






Gabung dalam percakapan