RM. Bambang Soeprapto: Pahlawan yang Perannya Sering Terlupakan dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang


Dalam sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang (15-19 Oktober 1945), nama dr. Kariadi dan Wongsonegoro sering muncul sebagai simbol keberanian para pejuang. Namun, ada satu sosok yang perannya sangat strategis, namun jarang disebut: Raden Mas Bambang Soeprapto Dipokoesoemo. Sosok ini memainkan peran penting dari masa pendudukan Jepang hingga perjuangan mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda dan pemberontakan internal.

Awal Perjuangan di Masa Pendudukan Jepang (1943-1944) 

Pada September 1943, RM. Bambang Soeprapto ditugaskan ke Semarang sebagai anggota Sendenbu, setelah menempuh pendidikan di Asrama Jalan Menteng 31 Jakarta. Selain tugas resmi, ia memiliki tugas rahasia: menghimpun pemuda dan pejuang di Semarang untuk membangun kekuatan menuju kemerdekaan. Bersama aktivis pemuda, ia membangun jaringan di Jalan Bojong dan Purusara (kini Rumah Sakit Kariadi). Pada April 1944, Jepang membentuk Tokubetsu Keisatsu Tai (Pasukan Polisi Istimewa), dan RM. Bambang Soeprapto diangkat sebagai Wakil Komandan Kompi. Latar belakangnya sebagai anggota polisi Hindia Belanda dan aksesnya ke kalangan pemuda menjadikannya figur penting untuk perjuangan kemerdekaan yang tersembunyi.

Peran Setelah Proklamasi Kemerdekaan (1945) 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, RM. Bambang Soeprapto ikut serta dalam pertemuan tokoh pemuda dan pergerakan Semarang. Ia menerima penyerahan komando dari Kawahara, Komandan Kompi Tokubetsu Keisatsu Tai, dan memerintahkan pengibaran Bendera Merah Putih, menggantikan Hinomaru. Nama unit juga diganti menjadi Pasukan Polisi Istimewa, yang kemudian menyebarkan berita proklamasi ke seluruh warga Semarang. 

Pertempuran Lima Hari di Semarang (15-19 Oktober 1945) 

Bambang Soeprapto memimpin pasukan untuk menjaga obyek vital seperti RRI Semarang, penampungan air Siranda, tahanan Jepang, serta pos-pos keamanan kota. 
  • 5 September 1945: Bambang Soeprapto dan pasukannya merebut gudang senjata Jepang di Kembang Pakis dan membagikannya ke BKR dan AMRI. 
  • 7 Oktober 1945: Bersama BKR dan AMRI, ia menyerbu Markas Kido Butai di Jatingaleh dan berhasil mendapatkan 160 pucuk senjata. 
  • 15 Oktober 1945: Pasukan Jepang yang berjumlah sekitar 1.000 orang menyerbu Semarang. Pasukan Bambang Soeprapto bersama pemuda dan BKR mempertahankan kota di berbagai front, termasuk bekas Markas Kempetai dan sekitar Tugu Muda.
Pertempuran ini menyebabkan korban dari kedua belah pihak, termasuk gugurnya anggota Pasukan Polisi Istimewa PIP.I Bono dan Agen Polisi Rasiyo. Perlawanan ini menunjukkan keberanian dan kepemimpinan Bambang Soeprapto di tengah situasi yang genting. 

Menghadapi Tentara Sekutu/NICA dan Agresi Militer Belanda I & II (1945-1948) 

  • 31 Oktober 1945: Pecah kontak senjata antara pasukan Bambang Soeprapto dan Sekutu/NICA di Semarang, serta di Ambarawa dan Magelang. 
  • Juli-Desember 1947: Bambang Soeprapto memimpin pasukannya menghadapi Agresi Militer Belanda I, mulai dari Bobotsari, Sukaraja, Purwokerto, hingga Karangnangka. Ia memimpin serangan, pertahanan, dan pengepungan pos Belanda, meski sering menghadapi ketidakimbangan kekuatan. 
  • Januari 1948: Ia mengumpulkan unsur TKR, PTL, dan TP untuk menyerang pertahanan Belanda di perbatasan Banyumas-Pekalongan.
Perjuangan ini membuktikan bahwa Bambang Soeprapto adalah komandan yang cermat dan berani, sekaligus mampu mengkoordinasikan berbagai laskar perjuangan di wilayah Jawa Tengah. 

Penumpasan Pemberontakan PKI (1948) 

RM. Bambang Soeprapto juga berperan dalam menumpas pemberontakan PKI di berbagai daerah: 
  • Juli-Agustus 1948: Menghadapi kerusuhan di Yogyakarta, Solo, Pati, dan Blora. 
  • September 1948: Menumpas PKI Madiun. 
  • Oktober 1948: Penumpasan PKI di Gundi, Tlawah, Wirosari, dan Purwodadi. 
  • November 1948: Bergerak ke Kudus menghadapi pemberontakan Yon Panembahan Senopati.  
  • Desember 1948: Mempertahankan Banjarnegara yang dibom Belanda selama Agresi Militer II.
Perannya ini menunjukkan bahwa perjuangan Bambang Soeprapto tidak hanya melawan penjajah, tetapi juga menjaga stabilitas internal negara. 

Pertempuran Boja, Cilacap (1949) 

Pada 28 Januari 1949, pertahanan pasukan Mobrig di Boja, Cilacap, diserang Belanda. Pasukan Bambang Soeprapto membagi kekuatan di tiga pos untuk menghadang serangan: Posko Boja, Cinangkil, dan Cimenckok. Pertempuran terjadi sengit, termasuk serangan udara Belanda. Korban jatuh cukup banyak: 16 anggota Mobrig, seorang pemuda pejuang, dan seorang warga Jepara yang simpati pada perjuangan. Mereka dimakamkan di bukit setempat, kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Manggalayudha Majenang Cilacap pada 1968. Sebuah tugu peringatan dibangun di lokasi tersebut pada 1973/1974. 

Akhir Perjuangan: Gugur di Tangan Darul Islam (1949) 

Tragisnya, pada 28 Mei 1949, RM. Bambang Soeprapto dibunuh secara keji oleh pemberontak Darul Islam pimpinan Amir Fattah di Kalisat, Brebes. Ia disergap dalam perjalanan menuju medan perang melawan Belanda. Meskipun seluruh pengawal dibebaskan, Bambang Soeprapto menjadi jaminan dan kemudian dibunuh. Jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang pada tahun 1951.